Selasa, 17 Maret 2009

Instruksi Gubernur Tentang
Larangan Penggunaan Rumah Tempat Tinggal untuk
Kantor atau Tempat Usaha


Fungsi utama sebuah rumah adalah sebagai tempat tinggal. Namun, saat ini banyak pemilik rumah yang mengubah atau menambah bagian dari rumahnya menjadi tempat usaha. Apakah praktek semacam ini memang diperbolehkan sepanjang tidak mengganggu?


Alasan Larangan
Para pengembang yang melarang rumah-rumahnya untuk dijadikan tempat usaha memang ada dasarnya. Mereka tidak serta merta membuat aturan yang tanpa ada dasar hukumnya. Ada beberapa peraturan yang menjadi pegangan khususnya pengembang yang berada di DKI Jakarta dan sekitarnya. Coba tengok peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.
Pemda DKI Jakarta sudah membuat aturan yang pada dasarnya dibuat untuk mengatur peruntukan fungsi rumah. Peraturan ini sudah ada sejak tahun 1977 dan dikeluarkan oleh Gubernur yang pada saat itu dijabat oleh Ali Sadikin. Peraturan ini tertuang di dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 203 Tahun 1977 yang berisi tentang ketentuan Pelaksanaan Larangan Penggunanaan Rumah Tinggal untuk Kantor atau Tempat Usaha.
Tidak hanya SK Gubernur itu saja yang bisa dijadikan pegangan, tetapi masih ada peraturan yang dikeluarkan untuk menyempurnakan pelaksanaan SK Gubernur DKI Jakata No. 203 itu. Peraturan ini merupakan instruksi yang mempertegas SK Gubernur tersebut yang dikeluarkan tahun 1988 oleh Wiyogo Atmodarminto selaku Gubernur DKI Jakarta pada saat itu. Peraturan yang dinamakan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 135 Tahun 1988 tersebut, berisi larangan penggunaan rumah tinggal untuk kantor ataupun tempat usaha. Selain itu juga instruksi untuk tidak memberikan izin perpanjangan untuk kantor atau tempat usaha yang sudah berada di daerah pemukiman atau hunian. Melalui instruksi ini, Pemda juga memberikan peringatan terakhir bagi pemilik usaha atau kantor tersebut untuk mengalihkan lokasi usahanya ke tempat yang diperbolehkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Melihat dari berbagai peraturan yang ada, ada beberapa pengembang yang secara tegas mengadopsi aturan ini. Walaupun bentuk usahanya kecil, seperti membuka warung kelontong yang menyediakan berbagai kebutuhan pokok rumah tangga, ada pengembang yang tetap melarangnya. “Mengubah bentuk bangunan saja dilarang, apalagi menambah fungsi bangunan menjadi tempat usaha,” ujar salah seorang warga perumahan di daerah Tangerang yang enggan disebut namanya.
Pengembang yang tetap mempertahankan fungsi rumah sebagai hunian mempunyai berbagai alasan yang mendasar. Menurut Ir. Jo Eddy (Product Development Bumi Serpong Damai, Tangerang), untuk kawasan rumah yang berada di cluster yang mempunyai nilai jual tinggi, warga diminta untuk tidak mengubah rumahnya menjadi tempat usaha. Alasannya, dengan dibukanya usaha di salah satu rumah warga, ditakutkan keramaian orang yang datang ke tempat usaha itu akan membuat ketenangan dan kenyaman warga yang lain menjadi terganggu.
Misalnya, ada salah satu warga membuka usaha salon di rumahnya. Karena kualitasnya memuaskan pelanggan, banyak sekali orang yang datang ke salon itu—tidak hanya warga perumahan tetapi orang yang tinggal di luar perumahan juga datang ke salon itu. Saking banyaknya orang yang datang, lahan parkir pelanggan salon itu menutupi pintu keluar rumah beberapa warga. Jika hal ini terjadi, warga yang lain menjadi terganggu dan melaporkan ke pengembang. Oleh karena itu pengembang akan turun tangan untuk memberikan teguran kepada sang pemilik agar menutup atau memindahkan lokasi salon tersebut ke tempat yang lain seperti ruko perumahan.
Sebetulnya, alasan paling utama larangan ini adalah pemukiman atau perumahan yang dihuni menjadi tidak teratur. Bisa dibayangkan jika semua rumah membuka usaha, lingkungan di sekitarnya pasti akan terlihat berantakan. Papan nama yang mencantumkan nama dan jenis usaha akan membuat pemandangan deretan rumah menjadi tidak sedap dipandang. Padahal, awalnya jika tidak ada penambahan atau perubahan fungsi rumah, hunian di perumahan itu akan tertata dengan rapi sehingga selain warga yang tinggal, tamu yang datang untuk mengujungi salah satu rumah akan merasa betah serasa tinggal di rumah sendiri.
Tidak hanya pemandangan yang tidak sedap dipandang, dengan banyaknya warga yang membuka usaha, keramaian kendaraan yang lalu lalang di sekitar jalan perumahan akan membuat keruwetan lingkungan. Banyaknya kendaraan yang lewat juga dapat membahayakan anak kecil yang sedang bermain di depan rumah.
Sesuaikan Fungsinya
Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dilihat dari artinya, rumah merupakan bangunan yang mempunyai fungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

Dengan demikian, seharusnya pemilik rumah sadar jika fungsi utama rumah adalah sebagai tempat tinggal. Di dalam UU No. 4 Tahun 1992 Pasal 8, juga disebutkan jika pemilik rumah berkeinginan membuka usaha dengan skala yang besar dan dekat dengan rumah, banyak pengembang menyediakan tempat usaha yang dinamakan rumah toko atau ruko. “Sudah ada tempatnya, jika warga ingin membuka usaha dengan skala besar,” ujar Edijanto Pramono (Sales Supervisor, perumahan Banjar Wijaya, Tangerang).
Selain memberikan tempat usaha pada tempatnya, pengembang juga berusaha mencegah warganya membuka usaha di rumah dengan cara membatasi akses pintu masuk ke perumahan. Pembatasan akses terutama untuk perumahan yang menggunakan sistem cluster. Di setiap pintu gerbang cluster, pengembang akan memperketat tamu yang akan masuk, sehingga orang yang akan datang ke tempat usaha itu tidak sembarangan masuk. Dengan demikian, orang akan enggan masuk ke dalam perumahan untuk menuju ke tempat usaha itu. Jika ada pembatasan, maka warga juga tidak mau membuka usaha karena usahanya mungkin tidak laku karena tidak semua orang bisa berkunjung.
Nah, apakah Anda juga berencana untuk membuka usaha di rumah? Sebaiknya pertimbangkan baik-baik keputusan ini agar tetangga Anda tidak ada yang merasa keberatan.
( sumber Koran Tempo 6 Maret 2009)

2 komentar:

  1. Sangat menarik data yang diajukan oleh Administrator RT.
    69% warga selalu membayar iuran dan 1% bahkan membayar langsung untuk 1 tahun.
    Akan tetapi ada 30% atau seperti warga yang tidak jelas. Apakah mereka ini tidak membayar iuran warga.
    Mudah-mudahan sih cuma karena lupa saja.

    BalasHapus
  2. saya setuju bahwa rumah tempat tinggal harus dikembalikan kefungsinya semula sebagai tempat tinggal/hunian dan sarana pendidikan. Di depan rumah saya ( RT. 004/010 No. 108, Kp Pangkalan Kramat Semanan Kalideres Jakarta Barat) ada usaha/pabrik pembakaran karet, yang sangat mengganggu kenyamanan dan ketenangan oleh sebab itu, mohon ditindak yang berwajib karena tidak sesuai dengan aturan. trims

    BalasHapus